Akulturasi Bahasa dalam Implementasi Generasi Muda
Akulturasi Bahasa dalam Implementasi Generasi Muda
Oleh: Zakya Zulvita Salsabila
Sumber: http://WordPress.com
Dunia kali ini sudah masuk dalam abad ke 21 yang telah membawa banyak perubahan, dalam hal sosial juga kultur budaya di setiap perkembangannya. Ditambah badai Covid-19 yang dua tahun lalu melanda seakan menambah perubahan sosial juga kultur dalam masyarakat. Melihat komunikasi yang bersifat primer dalam kehidupan setiap makhluk hidup sosial, hal ini mengakibatkan komunikasi turut andil dalam setiap perkembangan dan perubahan budaya.
Komunikasi verbal adalah salah satu yang menjadi dasar sebuah perubahan besar, dalam pembahasan ini adalah bahasa. Bahasa akan terus menerus mengikuti perkembangan zaman, sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan, dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat (Hasyim et al., 2019). Sehingga bahasa menjadi rentan untuk terus mengalami perubahan sesuai masanya.
Krisis kultur Bahasa oleh generasi muda
Dalam perkembangan bahasa, ia relatif mudah menjangkit pada kawasan anak muda. Ditambah era digitalisasi yang melanda dunia, menjadikan kemudahan akses untuk anak muda atau kini yang dikenal generasi Z mengetahui perkembangan budaya di luar wilayahnya. Dengan adanya fenomena seperti ini, ada beberapa faktor yang perlu digaris bawahi, karena dengan fenomena tersebut memungkinkan terjadinya sebuah keuntungan, dan menjadi sebuah kerugian yang bilamana tidak ditangani dengan serius.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pengguna bahasa daerah pertahunnya mengalami penurunan di setiap generasi SDM-nya, tercatat dalam Sensus Penduduk (SP) 2020 terdapat penurunan sekurangnya 7% untuk setiap generasi dengan perhitungan terendah jatuh pada post-gen Z (generasi kelahiran 2013) yang hanya memuat 61,1 dari nilai tertinggi 85,24 yang diraih generasi pre-boomer.
Nilai tersebut cukup tinggi untuk mencatat berapa besar anak muda yang mulai mengabaikan bahasa daerahnya. Jika diteruskan tanpa ada pembenahan, besar kemungkinan bahasa daerah akan tertinggal dan hilang dengan sendirinya. Namun dalam hal ini, bukan hanya perihal anak mudanya ataupun perkembangan zamannya. Ada beberapa faktor lain yang memicu penggunaan bahasa daerah mengalami kemerosotan, seperti ketentuan penggunaan bahasa Indonesia dalam pembelajaran, sehingga lebih dominan digunakan dalam kelas, ataupun dalam keluarga dan lingkungannya sendiri. Namun dalam tulisan ini akan menyorot terkait perkembangan zaman dan media yang kini dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga ditakutkan mendatangkan doktrin dalam setiap individu anak muda.
Melalui media sosial setiap orang bebas menunjukkan ekspresinya, tanpa terbatas waktu dan ruang. Sehingga setiap informasi yang ditampilkan di setiap orang berbeda-beda, dengan latar wilayah dan kebudayaan masing-masing. Sehingga jika tidak dapat membatasi diri, besar kemungkinan akan mengikuti arus yang ditampilkan oleh media. Dengan adanya hal tersebut, harusnya setiap anak muda mampu mengikuti perkembangan dunia tanpa meninggalkan eksistensi lokal dari bahasa ibunya. Contoh menampilkan kesenian dalam media entah dalam bentuk verbal maupun yang bersifat non verbal, sehingga dapat menjadi ajang promosi atau sebuah branding untuk kelestarian budaya daerahnya.
Dalam hal ini KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) memiliki tugas dan kewajiban dalam memahami persoalan media sosial yang sebenarnya menjadi ‘bumerang’ untuk masyarakat, terutama dalam pemahaman kultural. Termaktub dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3, yang ditafsirkan pada poin pertama dalam buku pedomannya, yaitu menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Melalui kata ‘hak asasi manusia’ dapat diartikan bahwa semestinya setiap orang memiliki tontonan atau penyajian tampilan yang sesuai dengan kebutuhannya. Semestinya KPI dapat bekerja sama dengan pengelola perusahaan untuk pembagian algoritma yang disampaikan sesuai dengan umur dan wilayah. Sehingga hal-hal yang ditakutkan (seperti yang dijelaskan di atas) dapat di minimalisir dengan batasan-batasan yang telah dikeluarkan oleh badan pengawas.
Perkembangan Bahasa menjadi hal baik?
Ethnologue: Language of The World (2005) mengemukakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa, sehingga dinyatakan menjadi negara nomor dua yang memiliki bahasa daerah terbanyak setelah Papua New Guinea. Dengan banyaknya perbedaan bahasa, menjadikan Indonesia rentan dengan banyaknya penafsiran bahasa sesuai dengan daerahnya masing-masing. Contoh kasus perbedaan bahasa dari wilayah Jawa Tengah dengan Jawa Timur, yang sukunya masih sama namun kultur penafsiran bahasanya yang sudah sangat berbeda. Sehingga sering terjadi istilah culture shock untuk para pendatang dari wilayah yang berbeda.
Dari kasus di ataslah yang akhirnya membentuk sebuah bahasa nasional, yang akhirnya digunakan untuk dapat mempersatukan pemahaman setiap daerah. Namun ada beberapa indikator yang akhirnya menyudutkan bahasa nasional tersebut, yang dianggap telah membuat lunturnya kultur bahasa di setiap wilayah. Lantas bukankah itu salah satu bentuk kesatuan dan kemajemukan yang ada di Indonesia?.
Persoalan bahasa daerah yang mengalami perubahan sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla dalam sambutan pembukaannya pada Kongres Bahasa-Bahasa Daerah di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu 22 Juli 2007. Ia menyampaikan “Bahwa hilangnya bahasa-bahasa daerah tidak perlu ditangisi karena merupakan hal yang lumrah terjadi, seiring dengan tuntutan zaman. Kita harus sadari, bahasa daerah penting. Namun, karena kondisi saat ini yang semakin global, kita membutuhkan bahasa persatuan yang lebih cepat untuk berkomunikasi sehingga tidak perlu ditangisi bila bahasa-bahasa daerah semakin berkurang.” (Kompas, Juli 2007).
Dengan pernyataan tersebut maka semestinya tidak ada perputaran bahasa yang ditakutkan. Namun jika melihat zaman sekarang, mestilah tetap adanya inovasi dan kreativitas dari pemuda untuk turut melestarikan kearifan lokal dengan pendampingan khusus. Sehingga tidak ada kekeliruan dan ketertinggalan dengan kebudayaan luar. Sehingga setiap individu dapat terus berkembang mengikuti zaman dengan menyertakan batasan-batasan yang semestinya dijaga dan dilestarikan.
Daftar Pustaka
Manaf, Eka Yuliana. DKK. 2021, “Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Wolio Ke dalam Bahasa Indonesia Di Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Baubau.” Jurnal Ilmu Budaya. Vol. 9, NO. 1
F. Santika, Erlina. 2023, “BPS: Penggunaan Bahasa Daerah Semakin Ditinggalkan Generasi Muda.” Katadata Media Network. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/31/bps-penggunaan-bahasa-daerah-semakin-ditinggalkan-generasi-muda.
Hanry Tondo, Fanny. 2009 “Kepunahan Bahasa-bahasa Daerah: Faktor Penyebab dan Implikasi Etnolinguistik.” Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 11 No. 2.
Comments
Post a Comment